Monday, 29 February 2016

Gagal Ginjal Kronis dan Penatalaksanaannya

Gagal Ginjal Kronis dan Penatalaksanaannya

Pengertian Gagal Ginjal Kronis 
Penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD)  adalah kondisi saat fungsi ginjal mulai menurun secara bertahap. Kondisi ini bersifat permanen. Status CKD berubah menjadi gagal ginjal ketika fungsi ginjal telah menurun hingga mencapai tahap atau stadium akhir.
CKD adalah penyakit yang umumnya baru dapat dideteksi melalui tes urin dan darah. Gejalanya yang bersifat umum membuat pengidap penyakit ini biasanya tidak menyadari gejalanya hingga mencapai stadium lanjut.
CKD stadium lanjut umumnya mengalami gejala: sesak napas, mual, kelelahan, mengalami pembengkakan pergelangan kaki, kaki, atau tangan karena terjadi penumpukan cairan pada sirkulasi tubuh, sesak napas, serta munculnya darah dalam urin.
Pemeriksaan darah dan urin secara teratur setiap tahun sangat disarankan bagi orang-orang yang berisiko tinggi mengidap penyakit ginjal kronis. Anda termasuk berisiko tinggi, antara lain jika memiliki tekanan darah tinggi, mengidap diabetes, dan memiliki riwayat keluarga pengidap penyakit ginjal kronis.

Fungsi Ginjal dan Penyebab Gangguan Ginjal Kronis 
Ginjal terletak di bawah tulang rusuk. Bentuknya menyerupai sepasang kacang di kedua sisi tubuh.
Selain memiliki fungsi utama menyaring limbah dari darah sebelum diubah menjadi urin, ginjal juga berfungsi:
  1. Mengatur kadar bahan kimia dalam tubuh sehingga membantu jantung dan otot agar bekerja dengan baik. 
  2. Membantu mengatur tekanan darah. 
  3. Memproduksi zat sejenis vitamin D yang menjaga kesehatan tulang. 
  4. Memproduksi hormon glikoprotein  disebut erythropoietin yang membantu merangsang produksi sel-sel darah merah. 
Beberapa kondisi seperti diabetes dan tekanan darah tinggi menjadi penyebab terjadinya tekanan pada ginjal. Dalam jangka panjang, kondisi-kondisi ini membuat  fungsi-fungsi di atas tidak akan berjalan dengan baik.

Pengidap Penyakit Ginjal Kronis di Indonesia 
Penyakit ginjal kronis diderita sekitar 10% populasi dunia.  Tingginya jumlah penderita diabetes di Asia membuat gagal ginjal lebih umum terjadi pada penduduk Asia. Selain diabetes, tekanan darah tinggi juga menjadi salah satu penyebab terkuat terjadinya penyakit ginjal kronis di Asia. Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara di Asia dengan kasus penyakit gagal ginjal tertinggi.
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) dan Kementerian Kesehatan menemukan bahwa penderita gagal ginjal kronis di Indonesia mencapai 25 sampai 30 juta orang.
Selain itu, penyakit ini juga diasosiasikan dengan penuaan. Semakin tua, Anda semakin berisiko mengidap gangguan ginjal. Orang lanjut usia, dimulai dari 60 tahun, paling berisiko mengidap penyakit ginjal kronis. Diperkirakan satu dari lima pria dan satu dari empat wanita berusia 65 – 74 mengidap gagal ginjal dalam stadium tertentu.

Berbagai Cara Penanganan Gangguan Ginjal Kronis 
Terdiagnosis mengidap CKD dapat membuat Anda dan kerabat merasa cemas. Berkonsultasi dengan dokter dan sesama pengidap dapat membuat Anda menemukan cara agar penyakit ini tidak mengambil alih hidup Anda.
Ini dikarenakan memang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan gagal ginjal. Perawatan terhadap penyakit ini hanya berfokus memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit dan mencegah munculnya kondisi serius lain.
Perubahan yang terjadi dalam sirkulasi tubuh membuat pengidap penyakit ginjal kronis menjadi lebih berisiko menderita stroke atau serangan jantung.
Pada sebagian orang, penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan ginjal berhenti berfungsi sepenuhnya. Kondisi ini disebut gagal ginjal stadium akhir (established renal failure/ERF). Perawatan cuci darah dapat membantu pengidap ERF agar tetap hidup. Proses kerja perawatan ini menyerupai ginjal buatan.

Agar Terhindar dari Gangguan Ginjal Kronis 
Pengidap kondisi-kondisi tertentu yang berisiko mengarah ke penyakit ginjal kronis seperti diabetes dan tekanan darah tinggi disarankan untuk mewaspadai perkembangan penyakit mereka. Perubahan gaya hidup seperti pola makan sehat, berolahraga teratur, dan menghindari kelebihan konsumsi minuman keras akan membantu mencegah terjadinya gagal ginjal.

Gejala Gagal Ginjal Kronis 
Umumnya tubuh dapat menoleransi berkurangnya fungsi ginjal, bahkan dalam skala besar. Situasi ini membuat pengidap penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) tidak merasa mengalami gejala apapun.
Jika salah satu ginjal Anda rusak, fungsi ginjal manusia masih tetap dapat terpenuhi hanya dengan satu ginjal lain. Fakta ini membuktikan bahwa manusia terlahir dengan kapasitas fungsi ginjal yang jauh lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Penurunan awal fungsi ginjal yang tanpa gejala ini membuat pengidap CKD kerap tidak segera menyadari penyakitnya. Perubahan fungsi ginjal umumnya baru dapat terdeteksi pasti dari pemeriksaan urin dan darah secara rutin.
Pengidap penyakit ginjal yang telah terdiagnosis akan menjalani pemeriksaan secara teratur untuk memantau fungsi ginjalnya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tes darah dan perawatan yang bertujuan mencegah agar penyakit tidak berkembang.
Tes darah dan pemantauan rutin ini juga berfungsi untuk mendeteksi jika ginjal mulai kehilangan fungsi dan mengarah pada gagal ginjal. Gagal ginjal menunjukkan gejala sebagai berikut:
  1. Lebih sering ingin buang air kecil, terutama di malam hari. 
  2. Kulit gatal. 
  3. Adanya darah atau protein dalam urin yang dideteksi saat tes urin. 
  4. Kram otot. 
  5. Kehilangan berat badan. 
  6. Kehilangan nafsu makan. 
  7. Penumpukan cairan yang mengakibatkan pembengkakan pada pergelangan kaki, kaki, atau tangan. 
  8. Nyeri pada dada, akibat cairan menumpuk di sekitar jantung. 
  9. Otot kejang. 
  10. Sesak napas. 
  11. Mual dan muntah. 
  12. Gangguan tidur. 
  13. Disfungsi ereksi pada pria.
Pengobatan pada stadium awal penyakit ginjal kronis dapat mencegah timbulnya gejala-gejala di atas.

Penyebab Gagal Ginjal Kronis 
Kondisi-kondisi yang menekan ginjal menjadi penyebab utama terjadinya penyakit ginjal. Penyakit ginjal terutama disebabkan oleh tekanan darah tinggi atau hipertensi dan diabetes. Sekitar 25 persen kasus gagal ginjal diindikasikan terpicu oleh tekanan darah tinggi, sementara 30 persen terpicu oleh diabetes.

Gangguan Ginjal pada Pengidap Diabetes 
Diabetes merupakan salah satu penyebab utama terhadap penyakit gagal ginjal kronis. Terdapat dua tipe utama diabetes:
  1. Diabetes tipe 1 adalah kondisi saat tubuh tidak memproduksi cukup insulin. 
  2. Diabetes tipe 2 adalah kondisi saat tubuh tidak menggunakan insulin dengan efektif.
Insulin dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi-fungsi berikut ini: 
  1. Mengatur kadar glukosa (gula) dalam darah. 
  2. Membatasi agar glukosa tidak meningkat terlalu tinggi setelah makan. 
  3. Menjaga agar kadar glukosa tidak terlalu rendah pada jeda antara waktu makan. 
Jika glukosa dalam darah terlalu tinggi, ini dapat memengaruhi kemampuan ginjal untuk menyaring kotoran dalam darah dengan merusak sistem penyaringan ginjal. Maka itu sangat penting bagi penderita diabetes untuk menjaga tingkat glukosa mereka melalui pola makan yang sehat dan mengonsumsi obat-obat antidiabetes sesuai aturan dari dokter. 
Gagal ginjal diperkirakan diderita sekitar 1-2 dari 5 pengidap diabetes tipe 1 sebelum umur mereka mencapai 50 tahun. Hal ini juga terjadi pada pengidap diabetes tipe 2 yang 1 dari 3 di antaranya juga mengalami tanda-tanda kerusakan ginjal. 
Tes urin tahunan akan direkomendasikan oleh dokter agar gangguan ginjal dapat dideteksi secepat mungkin. Adanya protein dalam kadar rendah pada urin merupakan gejala utama gangguan ginjal akibat diabetes.

Gangguan Ginjal pada Pengidap Tekanan Darah Tinggi 
Tekanan darah adalah ukuran tekanan saat jantung memompa darah ke pembuluh arteri dalam setiap denyut nadi. Tekanan darah kerap diasosiasikan dengan penyakit ginjal karena tekanan darah yang berlebihan dapat merusak organ tubuh Anda. 
Hipertensi menghambat proses penyaringan dalam ginjal bekerja dengan baik. Kondisi ini merusak ginjal dengan menekan pembuluh darah kecil dalam organ tersebut. 
Meski 9 dari 10 penyebab kasus tekanan darah tinggi tidak diketahui, namun ada kaitan antara kondisi tersebut dengan kesehatan tubuh seseorang secara menyeluruh, termasuk pola makan dan gaya hidup. 
Orang yang mengidap kondisi atau memiliki kebiasaan tertentu lebih berisiko mengidap hipertensi, yaitu: kurang berolahraga, kebiasaan merokok, stres, obesitas, mengonsumsi minuman keras berlebihan, usia tua, terdapat anggota keluarga yang dulu mengidap hipertensi, terlalu banyak garam dan lemak dalam makanan yang dikonsumsi, serta kurang potasium dan vitamin D.

Hal-hal Lain yang Menyebabkan Gangguan Ginjal Kronis 
Ada beberapa kondisi lain yang lebih tidak umum, tapi juga berisiko menyebabkan penyakit ginjal kronis yaitu: 
  1. Gangguan ginjal polisistik: kondisi saat kedua ginjal berukuran lebih besar dari normal karena pertambahan massa kista. Kondisi ini bersifat diwariskan. 
  2. Peradangan pada ginjal. 
  3. Infeksi pada ginjal. 
  4. Penyumbatan, seperti yang disebabkan batu ginjal atau gangguan prostat 
  5. Penggunaan rutin obat-obatan tertentu dalam jangka panjang, seperti obat anti-inflamasi non-steroid (non-steroidal anti-inflammatory drugs/NSAIDs), termasuk aspirin dan ibuprofen. 
  6. Lupus eritematosus sistemik (kondisi saat sistem kekebalan tubuh menyerang dan mengenali ginjal sebagai jaringan asing). 
  7. Kegagalan pertumbuhan ginjal pada janin saat dalam kandungan.
Menggunakan Kalkulator Risiko Ginjal 
Bagaimana cara untuk memperkirakan kondisi ginjal lima tahun yang akan datang? Anda dapat menggunakan kalkulator risiko ginjal dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana di QKidney Web Calculator. Jika saat ini Anda mengidap gangguan ginjal stadium menengah, Anda juga dapat memperkirakan apakah gangguan tersebut menjadi lebih parah lima tahun ke depan.

Diagnosis Gagal Ginjal Kronis 
Umumnya diagnosis penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) dilakukan melalui tes urin dan darah. Dulu, gangguan ginjal sering baru teridentifikasi saat sudah mencapai stadium akhir. Ini dikarenakan orang yang tidak berisiko tinggi biasanya tidak menjalani pemeriksaan secara teratur. Namun kini diagnosis umumnya bisa dilakukan oleh dokter umum sehingga pengobatan secara efektif dapat dilakukan lebih awal.

Tes-Tes Untuk Mendeteksi Kadar Kerusakan Ginjal 
Ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk menentukan kadar kerusakan pada ginjal Anda. Tes-tes tersebut meliputi:

Tes Urin 
Salah satu gejala penyakit ginjal adalah terdapat protein atau darah dalam urin Anda. Maka tes ini digunakan untuk mengecek kemungkinan kandungan tersebut. Beberapa hasil tes urin perlu dikirim ke laboratorium untuk dikonfirmasi. Sementara hasil beberapa tes lain dapat segera diperoleh.

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 
Laju filtrasi glomerulus/LFG (glomerular filtration rate/GFR) adalah pengukuran yang digunakan untuk menilai seberapa baik ginjal Anda bekerja. Penghitungan GFR melibatkan pengambilan sampel darah dan dihitung berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kelompok etnis Anda. Hasil GFR serupa dengan persentase kapasitas fungsi ginjal normal.

Pemindaian 
Dalam kasus gangguan ginjal stadium lanjut, ginjal menjadi mengerut dan berbentuk tidak utuh. Sebelum perubahan bentuk ginjal tersebut terjadi, pemindaian digunakan untuk mengetahui apakah terjadi penyumbatan tidak normal dalam aliran urin Anda. Proses ini dilakukan dengan alat-alat seperti USG, computerised tomography (CT) scan, atau pemindaian magnetic resonance imaging (MRI).

Biopsi Ginjal 
Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan ginjal. Deteksi kerusakan ginjal kemudian dilakukan dengan memeriksa sel-sel ini dengan mikroskop.

Menentukan Stadium Gagal Ginjal 
Perkembangan penyakit ginjal diklasifikasi dengan sistem pemeringkatan (stadium). Terdapat lima stadium untuk mendefinisikan tingkat keparahan kanker hati:
  1. eGFR bernilai di atas 90 atau normal: stadium 1. Walau nilai eGFR normal, terjadi kerusakan ginjal yang terdeteksi oleh tes lain. 
  2. eGFR bernilai 60-89: stadium 2. Selain menurunnya eGFR ,tes lain mengindikasikan terjadinya kerusakan ginjal. Agar perkembangan kondisi ginjal dapat terus dipantau, pengidap CKD stadium satu atau stadium dua direkomendasikan untuk menjalani tes eGFR tahunan. 
  3. eGFR bernilai 30-59: stadium 3. Pada stadium ini, perlu diadakan pemeriksaan lanjutan setiap enam bulan sekali. 
  4. eGFR bernilai 15-29: stadium 4. Pada stadium ini, pengidap kemungkinan telah merasakan gejala-gejala CKD dan perlu mengikuti pemeriksaan tiap tiga bulan. 
  5. eGFR bernilai di bawah 15: stadium 5. Disebut sebagai kondisi gagal ginjal, yaitu ginjal telah kehilangan hampir seluruh fungsinya. Setiap enam minggu, pasien gagal ginjal ini perlu menjalani pemeriksaan.
Hasil eGFR dari waktu ke waktu dapat naik atau turun. Diagnosis CKD biasanya baru bisa dipastikan jika tes-tes eGFR yang dilakukan beberapa kali menunjukkan hasil konsisten di bawah normal.

Kelompok Paling Berisiko 
Pemeriksaan rutin untuk mendeteksi CKD disarankan jika Anda termasuk kelompok orang berisiko tinggi, yaitu: 
  1. Pengidap diabetes, hipertensi, lupus, stroke, penyakit jantung, dan skleroderma. 
  2. Orang yang secara teratur mengonsumsi obat  pereda sakit dalam jangka panjang seperti ibuprofen. 
  3. Orang dengan riwayat keluarga yang pernah mengidap CKD stadium lima atau mewarisi penyakit ginjal serta penyakit saluran ginjal struktural, seperti batu ginjal dan pembesaran prostat. 
  4. Pengidap hematuria (dalam urinnya terdapat darah) atau proteinuria (terdapat protein dalam urin) yang penyebabnya belum diketahui. 
  5. Orang yang mengonsumsi rutin obat-obatan yang membahayakan ginjal, seperti litium dan kalsineurin. 
  6. Orang dengan riwayat kesehatan keluarga berpenyakit ginjal.
Jika tes urin atau darah mengindikasikan kemungkinan bahwa ginjal tidak berfungsi dengan baik, umumnya dokter akan menetapkan diagnosis adanya penyakit ginjal.

Pengobatan Gagal Ginjal Kronis 
Penyakit ginjal tidak dapat disembuhkan. Perawatan difokuskan untuk mencegah dan memperlambat agar penyakit tidak berkembang serta meredakan rasa sakit. Selain itu, pengobatan juga bertujuan untuk mengurangi risiko munculnya penyakit lainnya yang terkait.

Pengobatan Sesuai Tingkat Keparahan 
Tingkat keparahan chronic kidney disease (CKD) menentukan jenis pengobatan yang diberikan. Dalam beberapa kasus, kerusakan pada ginjal dan sirkulasi tubuh dapat dicegah dengan konsumsi obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah dan menurunkan kadar kolesterol dalam darah Anda.
Di samping itu, obat-obatan juga diberikan untuk mengontrol atau mencegah CKD berkembang hingga tubuh kehilangan hampir semua fungsi ginjal. Kondisi ini disebut dengan gagal ginjal permanen atau established renal failure (ERF).
Setidaknya 1 dari 100 pengidap CKD stadium tiga akan mengidap gagal ginjal. Pengidap gagal ginjal membutuhkan perawatan lebih lanjut untuk menggantikan sejumlah fungsi ginjal. Untuk mengetahui lebih banyak informasi, Anda dapat mengunjungi Registrasi Ginjal Indonesia atau Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).

Menjaga Tekanan Darah 
Tekanan darah tinggi dapat mempercepat perkembangan kerusakan ginjal. Oleh sebab itu penting untuk mengontrol tekanan darah yang dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seperti mengurangi konsumsi garam dan mengurangi berat badan.
Namun jika perubahan ini belum cukup untuk mengontrol tekanan darah, Anda mungkin membutuhkan obat-obat antihipertensi seperti penghambat ACE (angiotensin converting enzyme). Obat penghambat ACE memberikan perlindungan tambahan pada ginjal dan mengurangi tekanan darah dalam tubuh serta mengurangi tekanan pada pembuluh darah. Contoh penghambat ACE adalah ramipril dan lisinorpil.
Selain itu terdapat juga obat anti-hipertensi yang disebut angiotensin-II receptor blocker (ARB) meliputi: candersatan, eprosartan, irbesartan, dan losartan. Efek samping dari jenis obat ini jarang namun tetap ada, misalnya rasa pusing.

Perubahan Gaya Hidup 
Selain konsumsi obat-obatan, perkembangan CKD dan tekanan darah tinggi dapat dicegah dengan perubahan gaya hidup sebagai berikut:
  1. Mengurangi berat badan, terutama jika Anda mengalami obesitas. 
  2. Berolahraga teratur. 
  3. Berhenti merokok. 
  4. Mengonsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang dan rendah lemak 
  5. Membatasi konsumsi minuman keras. 
  6. Menjaga konsumsi garam tidak lebih dari 6 gram atau satu sendok teh per hari. 
  7. Kecuali diresepkan oleh dokter, hindari konsumsi obat anti-inflamasi non-steroid seperti ibuprofen.
Perbaikan Keseimbangan Fosfat 
Kelebihan fosfat pada tubuh biasanya disaring oleh ginjal. Namun penumpukan fosfat akan terjadi pada ginjal yang tidak berfungsi dengan baik, seperti pada pengidap penyakit ginjal stadium empat atau lima. Maka dari itu, pengidap penyakit ginjal stadium menengah ke atas akan disarankan untuk mengurangi konsumsi fosfat yang umumnya terkandung dalam daging merah, produk olahan ternak sapi, telur, dan ikan. 
Selain itu, penderita akan disarankan untuk mengonsumsi obat-obatan yang disebut pengikat fosfat. Contoh pengikat fosfat yang paling umum digunakan adalah kalsium karbonat. Walau jarang terjadi, pengikat fosfat dapat menimbulkan efek samping yang meliputi: konstipasi, diare, mual, sakit perut, perut kembung, ruam serta gatal-gatal pada kulit.

Aspirin atau Statin 
Beberapa faktor risiko CKD seperti tekanan darah tinggi dan tingginya kadar kolesterol dalam darah, sama dengan faktor risiko serangan jantung dan stroke. 
Dengan memiliki faktor risiko yang sama, pengidap CKD berisiko lebih tinggi menderita sakit jantung, termasuk serangan jantung atau stroke. 
Oleh sebab itu, Anda akan disarankan mengonsumsi aspirin dalam dosis rendah atau statin untuk membantu mengurangi risiko serangan jantung atau stroke. Statin bekerja dengan menghambat efek enzim dalam hati Anda yang berguna untuk membentuk kolesterol. 
Pada beberapa kasus, statin dapat menyebabkan sakit otot, lemas, dan nyeri. Sementara efek samping lebih ringan yang dapat timbul adalah sakit perut, konstipasi, diare, dan sakit kepala.

Penumpukan Cairan (Edema) 
Ginjal yang tidak berfungsi membuat tubuh sulit membuang cairan. Akibatnya terjadi penumpukan cairan pada pergelangan kaki atau sekitar paru-paru. Oleh karena itu dokter akan menyarankan pengidap sakit ginjal untuk membatasi konsumsi cairan dan garam, serta memerhatikan cairan yang terdapat dalam makanan yang Anda konsumsi seperti buah, sup, atau yoghurt. Selain itu, kelebihan cairan dalam tubuh juga dapat dikurangi dengan konsumsi obat diuretik (tablet cair), seperti furosemida.

Konsumsi Suplemen Zat besi dan Vitamin D 
Anemia atau kondisi saat tubuh tidak memiliki cukup sel darah merah banyak diderita pengidap CKD stadium tiga ke atas. Suplemen zat besi untuk produksi sel-sel darah merah biasanya akan diberikan untuk mengatasinya. Zat ini dapat diberikan dalam beberapa suntikan ke dalam pembuluh darah atau dalam bentuk tablet seperti ferri sulfat. 
Hormon eritropoietin yang membantu tubuh memproduksi sel darah merah juga bisa disuntikkan jika langkah-langkah di atas tidak dapat mengatasi anemia. Contoh-contoh suntikan ini antara lain epoetin alfa, beta dan zeta, methoxy polyethylene glycol-epoetin beta, dan darbepoetin. 
Selain itu, pengidap penyakit ginjal berisiko kekurangan vitamin D yang penting untuk tulang. Ini dikarenakan ginjal tidak dapat berfungsi mengaktifkan vitamin D dari makanan dan sinar matahari. Sehingga umumnya Anda akan mendapatkan suplemen vitamin D dengan yang disebut alfacalcidol atau calcitriol.

Pengobatan Untuk Gagal Ginjal: Cuci Darah atau Transplantasi 
Dalam beberapa kasus, penyakit ginjal kronis dapat berkembang menjadi gagal ginjal permanen atau established renal failure (ERF). Pada tahap ini, ginjal berhenti bekerja dan mengancam hidup. Kondisi ini terjadi secara perlahan-lahan dan jarang terjadi secara tiba-tiba. 
Namun banyak pengidap penyakit ginjal dapat memiliki ginjal yang berfungsi dengan baik sepanjang hidup mereka dengan menjalani perawatan. Diskusikan dengan dokter Anda tentang pilihan-pilihan pengobatan seperti cuci darah, transplantasi ginjal, atau perawatan pendukung. Perawatan pendukung bertujuan terbatas yaitu hanya untuk meringankan gejala yang dirasakan penderita stadium akhir.

Pencegahan Gagal Ginjal Kronis 
Orang yang sudah terdiagnosis mengalami penyakit ginjal dapat memperkirakan tingkat keparahannya di masa yang akan datang dengan QKidney Web Calculator. 
Umumnya penyakit ini tidak dapat dicegah sepenuhnya meski Anda dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko berkembangnya penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD).

Pola Makan Sehat 
Pola makan sehat penting untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan menjaga tekanan darah tetap normal. Kedua kondisi ini penting untuk mencegah terjadinya penyakit ginjal kronis. Konsumsilah makanan berimbang meliputi banyak sayuran dan buah segar. 
Selain itu, kontrol kadar kolesterol dengan menghindari makanan kaya lemak jenuh tinggi seperti goreng-gorengan, mentega, santan kelapa, keju, kue, biskuit, serta makanan-makanan yang mengandung minyak kelapa atau minyak sawit. 
Sebaliknya, Anda disarankan untuk mengonsumsi makanan yang kaya lemak tidak jenuh yang dapat mengurangi kadar kolesterol, antara lain minyak ikan, avocad, kacang dan biji-bijian, minyak bunga matahari, minyak biji sesawi, minyak zaitun. 
Selain itu, terlalu banyak garam juga akan meningkatkan tekanan darah. Penting untuk membatasi konsumsi garam tidak lebih dari 6 gram sehari yang setara dengan satu sendok teh penuh.

Hindari Rokok dan Minuman Keras 
Selain meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke, merokok dan mengonsumsi minuman keras dapat memperburuk kondisi gangguan ginjal yang sudah terjadi. Selain meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, mengonsumsi minuman keras secara berlebihan akan meningkatkan tekanan darah Anda. Pastikan Anda tidak mengonsumsi lebih dari 2-2,5 kaleng bir berkadar alkohol 4,7% per hari.

Olahraga Teratur 
Naiknya tekanan darah dan risiko berkembangnya CKD dapat diminimalkan dengan olahraga teratur. Anda disarankan untuk menjalankan aktivitas aerobik dengan intensitas menengah seperti berenang atau lari pagi selama setidaknya 2 -3 jam tiap minggu.

Baca Petunjuk Obat 
Pastikan Anda mengikuti petunjuk pemakaian jika Anda memang harus mengonsumsi obat pereda sakit. Konsumsi obat anti-inflamasi non-steroid seperti aspirin dan ibuprofen dalam dosis berlebih dapat menyebabkan gangguan ginjal. 

Waspada Diabetes 
Penyakit kronis (bersifat menetap dalam jangka panjang), seperti diabetes, dapat berpotensi menyebabkan gangguan ginjal kronis. Tiap tahun, pengidap diabetes disarankan untuk memeriksakan fungsi ginjalnya. Ikuti saran dokter dan lakukan langkah-langkah untuk menjaga kondisi Anda.
Baca selengkapnya

Treatment of Cold Allergic

Definition 
Cold allergy or in medical terms is called cold urticaria is a skin reaction to the cold that causes the appearance of lesions that itch and the skin becomes reddish.
The severity of cold allergy symptoms that appear on each person is different. Most people can lose consciousness, blood pressure is very low, and even the worst can lead to death.
Adolescence is the age most often affected by cold allergies, but usually disappears completely within a few years. 

Symptom 
Cold allergy symptoms usually appear when the skin is exposed to cold water or cold weather. Cold allergy are also more at risk appears in windy and damp conditions. Here are some cold allergy symptoms that can occur.
  1. When holding a cold object, the hand was swollen. 
  2. Emerging lesions that itch. 
  3. When you eat food or cold drinks, lips and throat felt swollen. 
  4. Skin reddish. 
  5. As the skin becomes warmer, the symptoms got worse.
In more severe cases, symptoms can occur potentially endanger lives such as swelling of the throat and tongue making it hard to breathe, and anaphylactic reactions that can cause blood pressure dropped dramatically, palpitations, fainting, swelling of arms and legs or torso.
Anaphylaxis is the body's reaction arising from the condition of hypersensitivity to a allergy triggers substance.
Cold allergy sufferers who swim in cold water, causing the entire skin is exposed to cold water, can have a severe reaction to loss of consciousness and drowned.
Generally, cold allergy will disappear by itself after a few weeks or months, but there are also last longer. If the throat or tongue feels swollen, felt dizziness, and difficulty breathing, see your doctor. 

Cause 
Cold allergic reactions caused by the release of histamine and other chemicals into the bloodstream that is triggered by cold weather. However, the exact cause of why the body reacts to the cold thus unknown.
There are several factors that can increase the risk of cold allergy, as following:
  1. Children and adolescents. They are the most commonly affected age of cold allergy and usually improves by itself within a few years. 
  2. Disease specific basis. There are several health disorders or diseases, such as cancer or hepatitis which increase the risk of cold allergy. 
  3. Infection. They were recently exposed to infections such as pneumonia or inflammation of the lungs more at risk of cold allergy. 
  4. Genetics. There are children who inherit the disease from their parents, but this is very rare.
Diagnosis 
To diagnose a cold allergy is easy, simply by putting ice cubes in the skin for five minutes. If after a while after moving the ice appears red bumps, then you suffer from cold allergy. 

Treatment 
There is no cure for cold allergies, but treatment to prevent or reduce the symptoms of this disease can be done by taking an antihistamine.
Additionally, you can consult to your doctor for a prescription drug that suits to you. Some prescription drugs that can be used to treat cold allergy is cyproheptadine, omalizumab, and doxepin. 

Prevention 
Prevention of cold allergy can be done with some thing like below.
  1. To prevent swelling of the throat, avoid eating cold food and drinks. 
  2. Taking medication as the doctor. 
  3. Tell your doctor or medical personnel if you are going to undergo surgery to prevent the onset of allergic symptoms of cold in the operating room. 
  4. Before exposure to cold weather, it is advisable to take an antihistamine. 
  5. Protect your skin from the temperature dropped dramatically or cold weather. 
  6. Bring a shot of adrenaline to anywhere you go in order to prevent an anaphylactic reaction occurs.
Baca selengkapnya

Diabetes Mellitus dan Komplikasinya

Pendahuluan 
Jumlah penduduk dunia yang menderita Diabetes Mellitus cenderung meningkat dari tahun ketahun. Indonesia sendiri saat ini menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes. Dari berbagai penelitian epidemiologi yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa peningkatan prevalensi akan lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Tahun 2007 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia sebesar 1,2% - 2,3% dari seluruh penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 akan ada sebanyak 20,1 juta penderita diabetes di Indonesia. Peningkatan jumlah penderita diabetes yang besar ini disebabkan karena faktor demografi, gaya hidup yang kurang sehat, serta kurang patuh dalam pengelolaan diet dan pengobatan. Data-data diatas menimbulkan keprihatinan dan perlunya kewaspadaan kita untuk mengenal lebih dalam mengenai Diabetes Mellitus. Apa itu diabetes mellitus (DM)? Bagaimana gejala DM? Apa bahaya diabetes sehingga sering dijuluki “the sillent killer” atau “Pembunuh Diam-diam”? (wow, ngeri juga) Dapatkah DM disembuhkan? Itulah pertanyaanpertanyaan yang akan coba kita bahas berikut ini.

Apa itu Diabetes Mellitus?
Istilah Diabetes mellitus (DM) memiliki arti “gula madu”. Istilah ini berasal dari Bahasa Yunani, artinya “mengalirkan melalui pipa dengan tekanan atmosfer” dan dari Bahasa Latin, artinya “semanis madu”. Dengan kata lain, pengertian diabetes yaitu air yang mengalir melewati tubuh penderita DM dari mulut langsung keluar melalui saluran kemih. Air seni diabetisi rasanya manis karena mengandung gula. Dulu, salah satu tes untuk diabetes adalah dengan menuangkan air seni pasien ke dekat sarang semut. Jika semut mengerumuni air seni tersebut, suatu pertanda bahwa pasien tersebut menderita DM. Itu sebabnya diabetes sering disebut sebagai penyakit kencing manis. Ketika seseorang menderita DM maka pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin untuk menyerap gula yang diperoleh dari makanan, atau tubuh memproduksi insulin yang cacat, atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin dengan baik. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel β Pulau Langerhans pankreas. Hormon ini melekatkan dirinya pada reseptor-reseptor yang ada pada dinding sel. Insulin bertugas untuk membuka reseptor pada dinding sel agar glukosa memasuki sel untuk diubah melalui proses pembakaran / metabolisme menjadi energi untuk melakukan aktivitas. Jika jumlah insulin tidak cukup, maka terjadi penimbunan gula dalam darah sehingga menyebabkan diabetes.
Gambar : Cara Kerja Insulin
Ada banyak pembagian DM, antara lain DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, DM gestasional / kehamilan, dan pra-DM. Namun pada artikel ini hanya akan dibahas mengenai diabetes tipe 1 dan tipe 2, yang sering dialami oleh diabetisi.

Diabetes Mellitus Tipe 1. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β (beta) pankreas. Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel β ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun. Sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun, sehingga digolongkan sebagai tipe 1 idiopatik. Autoimun adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari diri sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang membuatrespon kekebalan melawan sel & jaringan milik sendiri. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.

Diabetes Mellitus Tipe 2. DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di seluruh jaringan tubuh (insulin resistance) dan kelainan fungsi sel β. Akibatnya, walau pankreas masih dapat memproduksi insulin namun jumlahnya tidak cukup untuk mengkompensasi / mengatasi ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan insulin tadi. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala DM tipe 2 hampir-hampir tidak terdeteksi dan kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini, umumnya terjadi pada usia >40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi karena penumpukan insulin dalam darah yang tidak terpakai, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. 
Beberapa penyebab utama DM tipe 2 sebagai berikut:
  1. Faktor keturunan, apabila orang tua atau saudara sekandung yang menderita DM. 
  2. Pola makan atau gaya hidup tidak sehat. 
  3. Kadar kolesterol yang tinggi. 
  4. Jarang berolahraga. 
  5. Obesitas atau kelebihan berat badan.
Semua penyebab diabetes tipe 2 umumnya karena gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini membuat metabolismedalam tubuh tidak sempurna sehingga membuat insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Hormon insulin dapat diserap oleh lemak dalam tubuh, sehingga pola makan dan gaya hidup tidak sehat bisa membuat tubuh kekurangan insulin.

Hiperglikemia 
Kadar glukosa dalam darah yang tinggi di atas 200 mg/dl, merupakan kadar yang melebihi ambang batas ginjal. Akibatnya glukosa akan dikeluarkan oleh ginjal melalui air kemih/urine, dan hasil pemeriksaan glukosa dalam urine selalu positif. Glukosa dalam urine akan meningkatkan produksi dan pengeluaran urine, sehingga diabetisi akan sering dan banyak membuang air kemih (poliuri). Sering berkemih dalam jumlah banyak akan menyebabkan penurunan jumlah cairan dalam tubuh, yang berakibat diabetisi akan sering dan banyak minum (polidipsi). Glukosa sebagai sumber energi banyak yang terbuang saat berkemih, berakibat diabetisi akan lemah dan loyo, sehingga diabetisi juga semakin sering lapar dan banyak makan (polifagi). Sering kesemutan pada ujung jari tangan dan kaki (polineuropati perifer), gatal-gatal di kulit (pruritus). Semua hal tersebut di atas merupakan gejala dan tanda seseorang mengidap DM. 
Kadar glukosa yang tinggi di atas 200 mg/dl dalam waktu lama akan menimbulkan gangguan fungsi sel. Karena tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi, maka tubuh akan memecah lemak dan protein sebagai sumber energi. Akibatnya akan terjadi penurunan berat badan yang drastis. Penderita tampak makin kurus. Kerusakan tubuh akan menjadi lebih hebat bila diabetisi juga mengidap penyakit lain, yaitu tekanan darah tinggi / hipertensi, kadar lemak dalam darah tinggi/hiperkolesterolemia, kadar trigliserida tinggi dan HDL rendah / dislipidemia, peningkatan berat badan/berat badan berlebih atau obesitas, maupun kebiasaan merokok. 
Hasil akhir dari keadaan di atas adalah komplikasi berupa kerusakan beberapa organ penting, antara lain kelumpuhan oleh karena stroke, kebutaan akibat kerusakan lensa mata / katarak diabetika ataupun kerusakan selaput jala mata / retinopati diabetika, serangan jantung akibat penyempitan/ischaemic myocard ataupun sumbatan pembuluh darah koroner jantung/acute myocard infarct, yang sering berujung pada kematian, gagal ginjal/nefropati diabetika yang mengharuskan penderita menjalani cuci darah seumur hidup, terjadinya luka/ulkus (biasanya pada kaki) yang lama sembuh dan terkadang perlu tindakan amputasi sehingga menyebabkan kecacatan, serta impotensi yang mengakibatkan stress pada seorang lelaki.

Hipoglikemia 
Seorang penderita DM dapat secara tiba-tiba mengalami penurunan kadar gula darah yang sangat rendah di bawah ambang normal yang disebut hipoglikemia. Hal ini ditandai dengan gemetar, berkeringat, lelah, lapar, denyut jantung cepat sekali, pandangan kabur, nyeri kepala, tubuh kebas, atau kesemutan di sekitar mulut dan bibir. Bahkan bisa kejang atau pingsan. Hal ini terjadi bila mengonsumsi obat anti DM yang tidak disertai cukup asupan makanan. Otak menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Kondisi ini sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan otak. Tak jarang berakhir pada koma hipoglikemia yang mematikan.
Gambar : Bermacam Komplikasi DM
Ketoasidosis Diabetikum 
Akibat badan tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi, maka tubuh akan memecah lemak dan pada akhirnya protein untuk digunakan sebagai sumber energi. Namun saat tubuh membakar lemak, terbentuklah hasil sampingan berupa benda keton. Keton bersifat asam sehingga dalam kadar tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan metabolisme tubuh yang disebut ketoasidosis diabetikum. Gejala awalnya sama seperti DM. Pernafasan menjadi cepat dan dalam karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas tercium seperti bau apel manis atau aseton. Ketoasidosis bisa berkembang menjadi koma hiperglikemia, yang juga dapat berujung pada kematian. Mengingat bahaya komplikasi DM yang menakutkan, maka sudah seharusnya kita memberi perhatian lebih terhadap penyakit ini. Tidak hanya penderita DM, tetapi seluruh anggota keluarga juga harus menjadi pendukung pasien agar dibetisi selalu patuh dan menjaga kondisi tubuh sehingga jauh dari komplikasi DM. Obat penyembuh DM memang tidak ada, tetapi dengan mengendalikan kadar gula darah, seseorang dapat terhindar dari bahaya penyakit ini. Mengubah gaya hidup menjadi lebih baik dan lebih sehat harus segera dijalankan. Orang-orang yang menduga bahwa dirinya menderita diabetes hendaknya memeriksakan diri ke dokter dalam upaya pencegahan dan penanganan penyakit DM serta komplikasinya.
Baca selengkapnya

Sunday, 28 February 2016

Penggunaan Kortikosteroid Inhalasi Dalam Terapi Asma

PENDAHULUAN 
Asma merupakan penyakit yang disebabkan karena adanya inflamasi/ peradangan kronis pada saluran pernafasan dengan ciri-ciri seperti serangan akut secara berkala, sesak nafas, mudah tersengal-sengal, disertai batuk dan hipersekresi dahak, serta ‘mengi’ pada pasien asma yang sudah parah. Jumlah penderita asma dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sehingga diperlukan pengobatan yang tepat dan benar agar tidak sampai menyebabkan kematian.
Asma dapat terjadi karena meningkatnya kepekaan otot polos di sekitar saluran nafas seseorang dibandingkan saluran nafas normal terhadap stimuli tidak spesifik yang dihirup dari udara, yang pada orang sehat tidak memberikan reaksi pada saluran pernafasan seperti perubahan suhu, dingin, polusi udara (asap rokok), dll. Selain itu dapat pula terjadi karena reaksi alergi, atau karena infeksi saluran pernafasan yang dapat menyebabkan radang/ inflamasi sehingga saluran nafas pada pasien asma lebih menyempit lagi.

PENTATALAKSANAAN TERAPI 
Sasaran terapi pada pasien asma dengan menggunakan kortikosteroid inhalasi yaitu peradangan saluran nafas dan gejala asma. Terapi asma disini bertujuan untuk menghambat atau mengurangi peradangan saluran pernafasan serta mencegah dan atau mengontrol gejala asma, sehingga gejala asma berkurang/ hilang dan pasien tetap dapat bernafas dengan baik.
Strategi terapi asma dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi non farmakologi (tanpa menggunakan obat) dan terapi farmakologi (dengan obat). 

Terapi Non Farmakologi 
Untuk terapi non farmakologi, dapat dilakukan dengan olah raga secara teratur, misalnya saja renang. Sebagian orang berpendapat bahwa dengan berenang, gejala sesak nafas akan semakin jarang terjadi. Hal ini mungkin karena dengan berenang, pasien dituntut untuk menarik nafas panjang-panjang, yang berfungsi untuk latihan pernafasan, sehingga otot-otot pernafasan menjadi lebih kuat. Selain itu, lama kelamaan pasien akan terbiasa dengan udara dingin sehingga mengurangi timbulnya gejala asma. Namun hendaknya olah raga ini dilakukan secara bertahap dan dengan melihat kondisi pasien.
Selain itu dapat diberikan penjelasan kepada pasien agar menghindari atau menjauhkan diri dari faktor-faktor yang diketahui dapat menyebabkan timbulnya asma, serta penanganan yang harus dilakukan jika serangan asma terjadi. 

Terapi Farmakologi 
Sedangkan untuk terapi farmakologi, dapat dibagi menjadi dua jenis pengobatan yaitu:
  1. Quick-relief medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi otot-otot di saluran pernafasan, memudahkan pasien untuk bernafas, memberikan kelegaan bernafas, dan digunakan saat terjadi serangan asma (asthma attack). Contohnya yaitu bronkodilator. 
  2. Long-term medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati inflamasi pada saluran pernafasan, mengurangi udem dan mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk membantu mencegah timbulnya serangan asma (asthma attack). Contohnya yaitu kortikosteroid bentuk inalasi. 
Obat-obat asma yang digunakan antara lain bronkodilator (simpatomimetika: salbutamol, metilsantin: teofilin, antikolinergik: apratropium bromide), kortikosteroid (prednisolon, budesonida, dll) dan obat-obatan lain seperti ekspektoran (guaifenesin), mukolitik (bromheksin), antihistamin (ketotifen), dan antileukotrien (zafirlukast). Untuk memaksimalkan pengobatan asma biasanya digunakan kombinasi beberapa obat. Obat-obat asma tersedia dalam berbagai macam bentuk sediaan, yaitu oral, parenteral, dan inhalasi. Namun yang akan dibahas lebih lanjut disini yaitu kortikosteroid bentuk inhalasi. 

KORTIKOSTEROID INHALASI 
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.
Berikut ini contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:
Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis.

MEKANISME AKSI 
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara teratur.

INDIKASI 
Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan mencegah gejala asma.

KONTRAINDIKASI 
Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid.

EFEK SAMPING
Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.

RESIKO KHUSUS 
Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi tinggi badan orang dewasa.
Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.

CARA PENGGUNAAN INHALER 
  1. Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin 
  2. Ambillah inhaler, kemudian kocok 
  3. Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah 
  4. Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler) 
  5. Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif) 
  6. Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh) 
  7. Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter 
  8. Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi.
PENUTUP
Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA 
Anonim, 1998, Buku Saku Kedokteran Dorland edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Boushey H.A., 2001, Obat-obat Asma dalam Katzung, B.G., Farmakologi Dasar & Klinik, Ed.I, diterjemahkan oleh Sjbana, D., dkk, Salemba Medika, Jakarta
Brenner, MD, 2005, Current Clinical Strategies , Laguna Hills, California
Dipiro,JT., dkk, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.., USA
Baca selengkapnya