Friday, 19 February 2016

Obat-Obatan Yang Digunakan Untuk Pengobatan Ulkus Peptikum

Obat-Obat Yang Digunakan Untuk Mengobati Ulkus Peptikum 
Beberapa faktor penyebab utama ulkus peptikum yang sudah dikenali adalah antara lain penggunaan obat-obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), infeksi gram negatif Helycobacter pilory, peningkatan sekresi asam klorida dan pertahanan mukosa yang tidak adekuat terhadap asam lambung.
Pendekatan terapi untuk ulkus peptikum adalah 1) eradikasi infeksi Helycobacter pilory, 2) menurunkan sekresi asam lambung dengan penggunaan antagonis reseptor histamin-H2, dan penghambat pompa proton (PPI), 3) memberikan agen pelindung mukosa lambung dari kerusakan, seperti Misoprostol dan Sukralfat.
Jika pasien tidak dapat mentoleransi pengobatan ini maka antasida menjadi pilihan terakhir dalam penetralan asam lambung.
Untuk pendekatan terapi tersebut, maka obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan ulkus peptikum adalah sebagai berikut.
  1. Agen Antimikroba. Contoh obat-obatan yang masuk dalam golongan ini adalah Amoxicillin, senyawa bismut, Klaritromisin, Metronidazol, dan Tetrasiklin.
  2. Penghambat Reseptor Histamin-H2. Obat obatan yang masuk dalam golongan ini adalah Simeitidn Famotidin, Nizatidin, dan Ranitidin.
  3. Penghambat Pompa Proton. Contoh obatnya adalah Esomeprazol, Lanzoprazol, Omeprazol, Pantoprazol, Rabeprazol.
  4. Analog Prostaglandin. Contoh obatnya adalah Misoprostol.
  5. Agen Antimuskarinik.  Contoh obatnya adalah Disiklomin.
  6. Antasida. Contoh obat yang masuk dalam golongan ini adalah Aluminium hidroksida, Kalsium karbonat, Magnesium hidroksida, dan Natrium bikarbonat.
  7. Agen Pelindung Mukosa. Contoh obatnya adalah Bismut subsalisilat dan Sukralfa 
Regulasi Asam Lambung 
Sekresi asam lambung oleh sel parietal mukosa lambung dirangsang oleh asetilkolin, histamin dan gastrin. Peningkatan asetilkolin, histamin atau gastrin yang diperantarain reseptor mengakibatkan pengaktifan protein kinase, yang selanjutnya merangsang pompa proton H+/K+-ATPase untuk mensekresikan ion hidrogen sebagai penggantian K+ memasuki lumen gaster. Kanal Cl- bergabung dengan aliran keluar klorida untuk melepaskan H+. Sebaliknya, pengikatan reseptor prostaglandin E2 dan somatostatin menurunkan produksi asam lambung.
Pengikatan histamin mengakibatkan pengaktifan adenilil siklase, sedangkan pengikatan prostaglandin E2 menghambat enzim ini. Gastrin dan asetilkolin bekerja dengan cara menginduksi peningkatan kadal kalsium intraseluler.

Agen Antimikroba 
Terapi optimal untuk pasien dengan penyakit ulkus peptikum (baik ulkus duodenum maupun ulkus gaster) yang terinfeksi dengan Helycobacter pilory memerlukan terapi antimikroba. Eradikasi Helycobacter pilory menghasilkan penyembuhan cepat ulkus peptikum yang aktif dan menurunkan angka rekurensi hingga <15%. Antimikroba yang biasa digunakan, tidak digunakan dalam bentuk tunggal namun dikombinasei dengan agen lain, misalnya antagonis reseptor histamin-H2 dan penghambat pompa proton. Beberapa kombinasi yang biasa digunakan adalah PPI dengan metronidazol atau amoksisilin ditambah klaritromisin, atau terapi kuadreapel, bismut subsalisilat dan metronidazol ditambah tetrasiklin dan suatu PPI, diberikan selama 2 minggu. Kombinasi ini biasanya menghasilkan eradikasi sebesar 90% atau lebih. Tidak dianjurkan untuk penggantian antibiotika (jangan mengganti amoksisilin dengan ampisilin atau eritromisin atau doksisiklin dengan tetrasiklin). 
GERD tidak diakibatkan oleh infeksi Helycobacter pilory dan tidak berespons terhadap penggunaan antibiotik.

Antagonis Reseptor Histamin-H2 
Kegunaan utama dari agen ini adalah untuk menghambat sekresi asam lambung, terutama efektif melawan sekresi asam lambung nokturnal (pada malam hari). Dengan menghambat ikatan histamin pada reseptor H2 secara kompetitif, agen-agen ini menurunkan konsentrasi cAMP intraseluler, dan dengan demikian, menurunkan sekresi asam lambung. Empat jenis obat utama yang biasa digunakan dalam golongan ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin, yang menghambat secara poten (90%) sekresi basal, yang distimulasi makanan, dan sekresi asam lambung nokturnal. 
Antagonis reseptor histamin-H2 merupakan antagonis kompetitif yang bersifat reversibel, yang bekerja secara selektif pada reseptor H2 dalam lambung, pembuluh darah dan lokasi lain, tetapi tidak berefek pada reseptor H1. Agen-agen ini menghambat sekresi asam lambung yang diinduksi histamin atau gastrin secara utuh.  Namun agen ini hanya menghambat secara kecil asam lambung yang diinduksi oleh asetilkolin atau betanekol.
Kegunaan terapeutika dari agen-agen ini adalah :
  1. Ulkus peptikum. Agen-agen ini sama-sama efektif dalam memicu penyembuhan ulkus duodenum dan lambung. Pada pasien ulkus yang diinduksi OAINS, penggunaan agen ini tidak dapat memberikan kesembuhan dan harus diterapi dengan agen PPI. 
  2. Ulkus stres akut. Agen-agen ini berguna untuk menangani ilkus stres akut akibat trauma fisik mayor risiko tinggi di unit rawat intensif. Obat-obat ini biasanya disuntikkan secara intravena. 
  3. Penyakit refluks gastroesofageal. Agen-agen ini dalam dosis rendah dapat mengobati GERD, namun sebagian pasien tidak mendapatkan manfaat tersebut. Oleh karena itu, PPI dijadikan pilihan utama dalam penatalaksanaan GERD. 
Simetidin dan antagonis H2 lainnya diberikan per oral, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, termasuk ASI dan plasenta, dan ekskresi utama melalui urine. Simetidin memiliki waktu paruh serum yang singkat dan biasanya meningkat pada pasien dengan gagal ginjal. Sekitar 30% dosis simetidin diinaktifkan secara lambat oleh enzim oksiganase fungsi-campuran mikrosomal hepar, dan dapat mempengaruhi metabolisme banyak obat. Semua agen dalam golongan ini harus diturunkan dosisnya pada pasien dengan gagal hepar dan ginjal. Simetidin menghambat CYP450 dan dapat memperlambat metabolisme beberapa obat, seperti warfarin, diazepam, fenitoin, quinidin, karbamazepin, teofilin, dan imipramin, yang kadang mengakibatkan efek samping yang serius. 
Dibandingkan dengan simetidin, ranitidin bekerja lebih lama dan 5-10 kali lipat lebih poten. Ranitidin tidak menghambat sistem oksigenase fungsi-campuran mikrosomal hepar sehingga tidak mempengaruhi konsentrasi obat lain. 
Famotidin serupa dengan ranitidin dalam hal kerja farmakologisnya, namun obat ini 20-50 kali lebih poten dibandingkan simetidin, dan 3-20 kali lebih poten dibandingkan dengan ranitidin. 
Nizatidin serupa dengan ranitidin dalam hal kerja farmakologis dan potensinya. Berbeda dengan simetidin, ranitidin dan famotidin, nizatidin sedikit sekali dimetabolisme oleh hati dan eliminasi utamanya melalui ginjal, sehingga bioavailabilitas obat ini mendekati 100%. Tidak ada sediaan intravena yang tersedia untuk nizatidin. 
Efek samping tersering dari simetidin yang biasa muncul adalah pusing, diare dan nyeri otot. Efek samping ini tidak terlalu mengganggu dan tidak membutuhkan penghentian obat. Efek pada SSP lainnya, misalnya kebingungan dan halusinasi, biasanya terjadi pada lansia atau setelah pemberian secara intravena. Simetidin juga dapat memiliki efek endokrin, karena obat ini bekerja sebagai antiandrogen nonsteroid. Efek-efek ini meliputi ginekomastia, galaktorea (pengeluaran ASI terus-menerus), dan penurunan hitung sperma. Kecuali famotidin, semua agen ini menghambat metabolisme lintas-pertama etanol dalam lambung. 
Obat-obat yang memerlukan suasana asam untuk absorpsinya, seperti ketokonazol, dapat tidak diabsorpsi secara efisien jika digunakan bersama agen-agen ini.

Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor / PPI) 
Omeprazol merupakan anggota pertama dalam golongan ini yang berikatan dengan sistem enzim H+/K+-ATPase sel parietal sehingga menekan sekresi ion hidrogen menuju lumen gaster. Empat anggota PPI lainnya adalah lansoprazol, rabeprazol, pantoprazol, dan esomeprazol. 
Agen-agen ini merupakan prodrug dengan lapisan enterik resisten-asam untuk melindungi agen-agen ini dari degradasi prematur oleh asam lambung. Lapisan enterik ini dilepaskan dalam suasana basa di dalam duodenum dan prodrug tadi yang merupakan basa lemah diabsorpsi dan diangkut menuju kanalikuli sel parietal. Di kanalikuli sel parietal, prodrug diubah menjadi bentuk aktif, yang bereaksi dengan sistem H+/K+-ATPase membentuk ikatan kovalen yang stabil. Pada dosis standar, semua PPI menghambat sekresi basal dan asam lambung yang terstimulasi sebelas >90%. Penekanan asam dimulai dalam 1-2 jam setelah dosis pertama lansoprazol dan sedikit lebih awal dengan omeprazol. 
Kegunaan terapeutik dari PPI selain untuk menekan produksi asam lambung adalah untuk terapi GERD (pemberian sekali-sehari) dan ulkus duodenum aktif, serta terapi jangka panjang untuk hipersekresi patologis (misalnya sindrom Zollinger Ellison, yaitu terdapat tumor penghasil gastrin yang menyebabkan hipersekresi HCl). PPI juga digunakan untuk terapi ulkus yang diinduksi OAINS. Untuk efek maksimum, PPI harus digunakan 30 menit sebelum sarapan atau makan terbesar pada hari itu. 
Jika antagonis H2 juga diperlukan, maka obat tersebut harus digunakan dengan baik setelah pemberian PPI untuk mendapatkan efek terbaik. Antagonis H2 akan mengurangi aktivitas pompa proton, sedangkan PPI memerlukan pompa aktif agar efektif. Pada pasien GERD dengan pemberian PPI sekali-sehari hanya efektif sebagian, menaikkan regimen menjadi dua kali-sehari atau memberikan PPI pada pagi hari dan antagonis H2 pada sore hari dapat memperbaiki kontrol gejala. 
Semua agen dalam kelompok ini merupakan agen lepas lambat dan efektif per oral. Beberapa juga tersedia dalam bentuk sediaan intravena. Metabolit agen-agen ini diekskresikan dalam feses dan urine. 
Omeprazol menghambat metabolisme obat warfarin, diazepam, fenitoin dan siklosporin. Terapi lama dengan agen-agen penekan asam lambung seperti PPI dan antagonis H2 dapat mengakibatkan rendahnya vitamin B12, karena asam diperlukan untuk absorpsi vitamin B­12. Peningkatan asam lambung dalam waktu yang lama juga menimbulkan masalah dalam absorpsi kalsium karbonat (sebagai suplemen kalsium) pada usus bagian atas. Oleh karena itu, biasanya suplemen kalsium karbonat diganti dengan kalsium sitrat yang tidak terpengaruh dengan kondisi asam pH lambung yang tinggi.

Analog Prostaglandin 
Prostaglandin E2 dihasilkan oleh mukosa lambung, yang berguna untuk menghambat sekresi HCl, dan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat yang berguna untuk efek sitoprotektif. Defisiensi prostaglandin dianggap terlibat dalam patogenesis ulkus peptikum. Misoprostol merupakan suatu analog prostaglandin yang stabil, yang telah disetujui untuk digunakan dalam pengobatan ulkus peptikum yang diinduksi OAINS. Obat ini hanya efektif pada dosis yang lebih tinggi untuk menurunkan sekresi asam lambung. Penggunaan rutin misoprostol tidak dibenarkan, kecuali untuk pasien pengguna OAINS risiko tinggi, seperti lansia atau pasien dengan komplikasi usus. Seperti prostaglandin lainnya, misoprostol menyebabkan kontraksi uterus dan dikontraindikasikan selama kehamilan. Diare dan mual terkait dosis merupakan efek samping tersering dan dapat membatasi penggunaan agen ini.

Agen-Agen Antimuskarinik 
Reseptor muskarinik merangsang peningkatan motilitas saluran cerna dan aktivitas sekretorik. Antagonis kolinergik, seperti disiklomin, dapat digunakan sebagai tambahan dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan sindrom Zollinger Ellison, terutama pada pasien yang refrakter terhadap terapi standar. Efek samping yang banyak, misalnya aritmia jantung, mulut kering, konstipasi dan retensi urine telah membatasi penggunaan agen-agen ini.

Antasida 
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung untuk membentuk air dan garam sehingga menurunkan keasaman lambung. Karena pepsin tidak aktif pada pH lebih besar dari 4, maka antasida juga menurunkan aktivitas pepsin. 
Kemampuan penetralan asam dari suatu antasida bergantung pada kapasitasnya menetralkan asam lambung  dan kondisi lambung penuh atau kosong. Adanya makanan dalam lambung menunda pengosongan lambung, sehingga antasida membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memberikan efeknya. 
Antasida yang lazim digunakan adalah garam aluminium dan magnesium, seperti aluminium hidroksida (Al(OH)3), magnesium hodroksida (Mg(OH)2, dalam bentuk tunggal maupun dalam kombinasi. Kalsium karbonat (CaCO3) bereaksi dengan HCl untuk membentuk CO2 dan CaC2 dan merupakan sediaan yang lazim digunakan. Kalsium karbonat juga biasanya digunakan sebagai suplemen kalsium. 
Antasida yang mengandung aluminium dan magnesium digunakan dalam terapi ulkus peptikum dan GERD. Agen-agen ini biasanya digunakan sebagai lini terakhir dalam terapi. 
Aluminium hidroksida cenderung menyebabkan konstipasi, dan magnesium hidroksida cenderung menyebabkan diare. Sediaan yang menggabungkan agen-agen ini membantu menormalkan fungsi usus. Pengikatan fosfat pada antasida yang mengandung aluminium menyebabkan hipofosfatemia. Selain berpotensi menyebabkan alkalosis sitemis, natrium bikarbonat melepaskan gas CO2, menyebabkan sendawa dan kembung. Absorpsi kation dari antasida (Mg2+, Al3+, Ca2+) umumnya tidak menjadi masalah pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, tetapi kandungan natrium dari antasida dapat menjadi pertimbangan penting pada pasien dengan hipertensi atau gagal jantung kongestif. Efek samping juga dapat terjadi pada pasien dengan kerusakan ginjal, disebabkan akumulasi magnesium, kalsium, natrium, dan elektrolit lainnya. Asupan kalsium karbonat yang berlebihan bersama dengan suplemen kalsium dapat menyebabkan hiperkalsemia.

Agen Pelindung Mukosa 
Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai senyawa protektif yang memiliki beberapa kerja yang meningkatkan mekanisme perlindungan mukosa sehingga mencegah cedera mukosa, mengurangi peradangan dan menyembuhkan ulkus peptikum yang telah ada. 
Sukralfat, merupakan suatu kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa bersulfat ini berikatan dengan kelompok bermuatan positif pada protein mukosa normal dan nekrotik. Dengan membentuk gel-gel kompleks dengan sel epitel, sukralfat menciptakan sawar fisik yang mengganggu difusi HCl dan mencegah degradasi mukus oleh pepsin dan asam. Obat ini juga merangsang pengeluaran prostaglandin, begitu pula hasil keluaran mukus dan bikarbonat, dan menghambat digesti peptik. Karena itu, sukralfat efektif menyembuhkan ulkus duodenum dan digunakan dalam terapi rumatan jangka panjang untuk mencegah rekurensi penyakit-penyakit tersebut. Sukralfat tidak boleh diberikan bersama antagonis H2 atau antasida, karena obat ini membutuhkan suasana asam untuk pengaktifan. Sukralfat dapat ditoleransi dengan baik, namun dapat mengganggu absorpsi obat lain dengan cara berikatan dengan obat lain tersebut. Agen ini juga tidak mencegah ulkus yang disebabkan oleh OAINS, juga tidak menyembuhkan ulkus gaster. 
Bismut subsalisilat,  sediaan senyawa ini efektif menyembuhkan ulkus peptikum. Selain aktivitas antimikrobanya, senyawa ini juga menghambat aktivitas pepsin, meningkatkan sekresi mukus, dan berinteraksi dengan glikoprotein dalam jaringan mukosa nekrotik untuk melapisi dan melindungi kawah usus.

Bagikan

Jangan lewatkan

Obat-Obatan Yang Digunakan Untuk Pengobatan Ulkus Peptikum
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.