Saturday, 27 February 2016

Tiga Proses Yang Dialami Obat Sebelum Tiba di Tempat Aksi

Semangat pagi sobat Pharmacy World yang luar biasa. Hehe.. Pada postingan kali ini saya mau sharing sedikit tentang 3 fase penting yang dialami obat sebelum sampai di tempat aksi.

Tiga Proses Yang Dialami Obat Sebelum Tiba di Tempat Aksi
Sebelum tiba di tempat aksi atau jaringan, obat mengalami proses yang terbagi dalam tiga fase, yakni fase biofarmasetika (farmasetika), farmakokinetika dan farmakodinamika.
Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kadar yang cukup. Kadar obat yang cukup itu tergantung pada jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat saat diabsorpsi, serta distribusi aliran darah ke bagian lain tubuh. Efek obat akan hilang jika obat telah bergerak keluar dari tubuh atau tempat aksinya, baik dalam bentuk tidak berubah maupun sebagai metabolit yang dikeluarkan lewat proses ekskresi. Untuk itu, perlu diketahui tentang cara tubuh menangani obat melalui proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME), untuk menentukan dosis, rute, dan bentuk sediaan obat agar diperoleh efek terapi yang diinginkan dengan efek toksik yang minimal.
Berikut ini akan dijelaskan secara detail tentang tiga fase yang dialami obat sebelum sampai di tempat aksinya, yaitu fase biofarmastika, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.

Fase Biofarmasetika
Fase ini meliputi waktu awal penggunaan obat melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam cairan tubuh. Yang terpenting dalam fase ini adalah ketersediaan farmasi zat aktif, yaitu kesiapan obat untuk diabsorpsi. Fase biofarmasetika atau farmasetika pada perkembangan obat meliputi ilmu dan teknologi pembuatan obat dalam bentuk sediaan, yang dapat digunakan dan diberikan kepada penderita. Sedangkan biofarmasetika sendiri merupakan ilmu yang menggambarkan formulasi obat agar dapat menghasilkan respons biologi yang optimal.
Tujuan formulasi bentuk sediaan obat adalah agar dapat dibuat, disimpan, dan diedarkan tanpa terjadi perubahan sifat biologis, sehingga perlu diperhatikan tentang sifat kimia dan fisikokimia bentuk sediaan, parameter farmakokinetik (ADME), dan efek biologis, farmakologis, serta klinis dari obat tersebut.
Berikut ini akan dijelaskan tentang perjalanan obat pada fase biofarmasetika di dalam tubuh.

Faktor-Faktor Formulasi
Efek obat ternyata tidak semata-mata tergantung pada faktor zat aktif yang berkhasiat saja, tetapi juga pada bentuk sediaan, terutama pada cara formulasinya. Berikut ini adalah beberapa faktor formulasi dalam pembuatan sediaan obat :

Derajat Kehalusan Serbuk
  1. Sediaan obat sangat halus (1-5 mm). Kadar obat dalam darah bisa mencapai 2-3 kali lebih tinggi, sehingga dosis bisa diturunkan hingga 2-3 kalinya. Contoh obat bentuk ini adalah Griseofulvin, Digoksin, dan Spironolakton.
  2. Obat yang bekerja di usus tidak memerlukan persyaratan derajat kehalusan, karena obat tersebut tidak diabsorpsi.
Bentuk Kristal Zat Aktif
  1. Absorpsi zat berbentuk amorf lebih besar daripada bentuk kristal, karena zat yang amorf lebih mudah larut. Sebagai contoh, Kloramfenikol palmitat dan Novobiosin akan tidak aktif apabila diberikan dalam bentuk kristal. Contoh lainnya adalah insulin. Insulin (hormon kelenjar pankreas sapi atau kambung) yang penting untuk metabolisme glukosa memiliki tiga bentuk, yaitu amorf (demilente), seperti Prompt insulin Zinc Suspensi yang cepat diabsorpsi, kristal (iltralente), seperti Extended Insulin Zinc Susp. yang lambat diabsorpsi dan campuran 70% kristal dan 30% amorf (lente), seperti Insulin Zinc susp.
  2. Stabilitas produk berbentuk amorf lebih kecil daripada bentuk kristal, seperti Penisilin G natrium.
  3. Bentuk polimorfisme memiliki kecepatan disolusi dan kelarutan yang tinggi, seperti sulfur (dibuat suspensi) dan kortison asetal.
Keadaan Kimia Obat
  1. Absorpsi zat-zat anhidrat lebih besar daripada zat-zat hidrat, seperti absorpsi Ampisilin anhidrat (Amfipen) lebih besar daripada Ampisilin trihidrat (Penbritin).
  2. Bentuk kompleks dapat mempercepat proses absorpsi, seperti Manitol dan Heparin + EDTA.
  3. Hormon kelamin dapat diuraikan oleh asam/getah lambung, sehingga jika akan digunakan melalui rute oral, hormon ini harus dalam bentuk esternya. Sebagai contoh : Etinil estradiol dan Testosteron-undekanoat.
  4. Absorpsi Betametason lebih besar daripada Hidrokortison asetat jika digunakan per oral. Akan tetapi, absorpsi hidrokortison asetat lebih besar dari pada betametason jika pemberiannya melalui kulit. Betametason digunakan bentuk esternya, yaitu betametason-17-valerat, untuk memperoleh efek terapi yang lebih besar. 
  5. Kecepatan disolusi bentuk garam dari suatu obat umumnya berbeda dengan bentuk asam atau basanya. Garam Na dan K suatu asam lemah atau garam HCl suatu basa lemah dapat larut lebih cepat, Sebagai contoh : Na-barbiturat yang memiliki kecepatan disolusi 800 kali lebih besar daripada Barbiturat dan kecepatan disolusi Na-tolbutamid 10.000 kali lebih besar daripada asam bebasnya, yaitu Tolbutamid.
Zat-Zat Tambahan 
Zat tambahan pada tablet seperti zat pengisi, pengikat, pelicin dan penghancur, dianggap mempengaruhi efek obat. Namun pada tahun 1960, ditemukan bahwa tablet Prednison dengan bahan pengisi CaSO4, ternyata tidak memberikan efek. Sedangkan yang menggunakan bahan pengisi laktosa memberikan efek. Pada tahun 1970, terjadi keracunan akibat penggunaan tablet Difantoin dengan bahan pengisi laktosa. Akan tetapi, tablet difantoin dengan bahan pengisi CaSo4 tidak menunjukkan gejala efek samping apapun. Hal ini terjadi karena laktosa dapat meningkatkan absorpsi Difantoin, sehingga menimbulkan keracunan.
Untuk mempercepat larutnya zat aktif dalam suatu tablet, dapat dilakukan dengan menambahkan zat hidrofil seperti Polivinilpiloridon. Penggunaan bahan pelicin hidrofob dalam tablet, seperti Mg-stearat, dan asam-stearat, dapat menghambat terlarutnya zat aktif. Oleh karena itu, dalam tablet, penggunaan bahan pelicin harus sedikit mungkin. Pada saat ini telah ditemukan bahan pelicin yang tidak menghambat terlarutnya zat aktif, misalnya aerosIL (asam silikat koloidal). 
Bahan pengikat seperti gom, gelatin, dan mucilago amily, serta bahan pengental dalam suspensi, dapat menghambat terlarutnya zat aktif. Sedangkan bahan penghancur, seperti amilum kering justru akan mempercepat terlarutnya zat aktif.
Penggunaan bahan pembantu sebagai basis atau dasar supositoria dapat mempengaruhi pelepasan zat aktif dari basis tersebut. Misalnya supositoria Aminofilin, lebih baik dibuat dengan menggunakan basis oleum cacao. Apabila digunakan basis estarin, beberapa zat seperti Indometasin, dan Klorhidrat sukar terlepas dari basis tersebut. 

Alat Yang digunakan dan Keadaan Fisik
Dalam pembuatan sediaan obat, faktor ini dapat mempengaruhi kecepatan terlarutnya zat aktif. Semakin keras suatu tablet, karena dibuat dengan tekanan mesin yang tinggi atau karena penyimpanan, maka zat aktifnya akan semakin sukar larut.

Ketersediaan Farmasi (KF)
Dalam ketersediaan farmasi (KF), tablet akan dipecah di dalam lambung menjadi granul-granul setelah ditelan, zat aktif masih bercampur dengan zat pengisi, zat pengikat atau zat penghancur. Setelah granul pecah, zat aktif terlepas lalu larut atau tidak larut dalam cairan lambung atau usus,, tergantung dimana obat berada saat itu. Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung yang berkisar 2-3 jam setelah makan. Setelah obatnya larut, barulah proses absorpsi oleh usus dapat dimulai.
Obat dalam bentuk sediaan cair atau sirop akan mencapai KF dalam waktu singkat, karena tidak mengalami fase desintegrasi menjadi granul dan fase melarut. 
Adapun urutan kecepatan melarutnya obat yang tahan terhadap getah asam lambung dalam bentuk sediaan, yaitu larutan, sirop, suspensi, serbuk, tablet, tablet salut film, tablet salut gula, dan yang paling terakhir adalah salut enterik.

Ketersediaan Hayati (KH)
Efek terapi suatu obat biasanya baru terlihat setelah zat aktifnya melewati sistem pembuluh aorta, lalu masuk ke hati dan mengalami metaboslisme kemudian kembali masuk ke dalam peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Adapun mekanisme ketersediaan farmasi adalah tablet, menjadi granul, zat aktifnya terlepas, dan akhirnya zat aktif tersebut terlarut. 
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan penderita yang bersangkutan dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah. Hal ini menunjukkan adanya suatu korelasi antara kadar obat dalam plasma dan efek terapi. Ketersediaan farmasetika ditentukan secara in vitro dengan mengukur kecepatan disolusi zat aktif dalam waktu tertentu. 
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan kecepatan absorpsi obat dari bentuk sediaannya. Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan jumlah atau bagian obat yang diabsorpsi dari bentuk sediaan, kecepatan obat diabsorpsi, masa kerja obat berada dalam cairan biologis atau jaringan jika dihubungkan dengan respons penderita, dan hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi atau efek toksik.
Dalam industri farmasi, ketersediaan hayati digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memilihh dan menyusun formula sediaan obat dengan cara sebagai berikut :
  1. Membandingkan macam-macam formulasi substansi obat untuk menentukan formula mana yang paling cocok dalam absorpsi obat.
  2. Membandingkan Ketersediaan Hayati (KH) substansi obat dari bermacam-macam batch sediaan obat yang diproduksi.
  3. Membandingkan KH substansi obat dari bermacam-macam bentuk sediaan obat, seperti tablet, kapsul dan eliksir.
  4. Membandingkan KH substansi obat dari sediaan obat yang sama terapi dari pabrik yang lain.
Adapun parameter untuk menilai dan membandingkan KH yang digunakan dapat digunakan dengan dua cara. Pertama, tinggi kadar puncak dalam satuan g/100 ml, mdg/ml, dan mg%. Kedua, waktu kadar puncak, sangat berhubungan dengan kecepataan absorpsi obat dari bentuk sediaan obat, efek farmakologis dan lama waktu obat tetap berada dalam darah.

Kesetaraan Terapeutik 
Dua tablet yang mengandung zat aktif dan kadar obat yang sama dari pabrik berlainan atau formula yang berlainan, tidak selalu menghasilkan kadar obat dalam darah dan efek terapi yang sama. Kadang-kadang tablet dari batch yang berlainan dalam satu pabrik saja bisa memberikan efek yang berbeda. Hal ini dikarenakan ketersediaan farmaseutik dari masing-masing tablet berbeda.
Oleh karena itu, kesetaraan terapeutika dari sediaan-sediaan farmasi sangatlah penting, terutama untuk obat yang memiliki luas terapi yang kecil dan aktivitasnya tergantung pada kadar plasma yang tetap, misalnya Digoksin dan Deksametason. Meskipun farmakope mensyaratkan untuk memeriksa kesamaan kadar dan kecepatan disolusi, namun tidak ada korelasi antara kecepatan disolusi in vitro dengan KH in vivo. Hanya, ada beberapa zat yang memiliki korelasi tersebut, diantaranya adalah Digoksin, Griseofulvin, dan Asetosal. Oleh karena itu, apoteker dan asisten apoteker dilarang mengganti merek obat yang sedang dipakai.

Hubungan Rute Penggunaan Obat dengan Bentuk Sediaan Obat
Pada umumnya obat jarang diberikan dalam keadaan murni, namun merupakan kombinasi dalam formulasi dengan zat-zat yang bukan obat (zat tambahan) yang memiliki fungsi khusus, seperti zat pensuspensi, pengemulsi, pengisi, pengikat, penghancur, basis salep, basis supositoria, zat pengawet, pewarna dan lain sebagainya. Oleh karena itu, obat-obatan dengan bahan tambahan dicampur menjadi bentuk sediaan obat.

Alasan Obat Tambahan Dibentuk Dalam Sediaan Obat
Adapun alasan dibutuhkan bentuk sediaan obat adalah sebagai berikut :
  1. Melindungi obat dari kerusakan akibat pengaruh udara, misalnya tablet bersalut seperti tablet salut gula dan tablet salut film.
  2. Melindungi obat dari pengaruh asam lambung, misalnya tablet enterik.
  3. Memudahkan penggunaan obat untuk tujuan terapi, misalnya salep melalui kulit dan supositoria melalui anus.
  4. Membuat pelepasan obat yang teliti, tepat dan aman.
  5. Menghilangkan atau menutupi rasa dan bau yang kurang enak, misalnya kapsul, tablet bersalut, dan sirop.
  6. Membuat serbuk yang tidak larut, tetapi dapat terdispersi dalam cairan pembawa, seperti suspensi.
  7. Mencampurkan dua cairan yang tidak bisa bercampur menjadi terdispersi dalam cairan pembawa, misalnya emulsi.
  8. Memberi pengobatan setempat agar diperoleh efek yang optimal, misalnya salep, krim, tetes mata, tetes hidung dan tetes telinga.
  9. Memudahkan obat untuk dimasukkan ke dalam lubang tubuh, misalnya supositoria, ovula dan basil.
  10. Memudahkan obat untuk langsung masuk kedalam aliran darah, misalnya injeksi intramuskular, intravena, intraarteri dan intratekal. 
  11. Memperoleh aksi obat yang optimal dalam saluran pernapasan, misalnya inhalasi, aerosol, dan semprot hidung.
  12. Membuat sediaan berupa larutan, sehingga obat larut dalama zat pembawanya, misalnya sirop.
  13. Mengatur pelepasan obat agar dapat berefek lama.
Hubungan Rute Pemberian Obat dengan Bentuk Sediaan Obat
Hubungan rute pemberian obat dengan bentuk sediaan obat adalah sebagai berikut :
Bentuk Sediaan Obat Kerja Lama
Ada tiga tipe bentuk sediaan obat berefek lama yang dapat dibedakan berdasarkan pelepasan zat aktif dan absorpsinya. Pertama, sustained release (SR), yaitu suatu sediaan obat berefek lama yang kadar terapinya berefek lama yang kadar terapinya dicapai dengan kecepatan sama seperti pada dosis tunggal. Selanjutnya kadar obat di dalam darah tersebut dijaga agar tetap berada pada tempatnya untuk periode yang lama, seperti Feospan 2 sapnsule, Natrilix SR, dan Voltaren SR.
Kedua, prolonged action, yaitu suatu tipe sediaan obat berefek lama yang kadar terapinya menghasilkan pengobatan seperti pada dosis tunggal yang lain ppada waktu berikutnya (aksi obat berulang), misalnya sediaan Repetab.
Adapun nama-nama sediaan dengan waktu kerja lama yang dikenal dalam perdagangan diantaranya :
  1. Sansule, yaitu sediaan kapsul yang berisi granul-granul untuk kerja lama, seperti Feospan 2 spansule (antianemia).
  2. Repetab, yaitu sediaantablet untuk kerja lama, seperti Polaramin repetab (antihistamin).
  3. Timespan, yaitu sediaan tablet untuk kerja lama, seperti Ronicol timespan (vasodilator).
  4. Retard, yaitu sediaan tablet untuk kerja lama, seperti Bellergal retard (analgetik), Cedocard retard (vasodilator koroner), Voltaren retard (antiradang-antirematik).
Rute Penggunaan Obat
Rute penggunaan obat terbagi menjadi beberapa rute, yakni rute oral/per oral, rektal (anus/dubur), parenteral/injeksi, kulit/perkutan, membran selaput lendir/mukosa (mata, hidung, telinga, vagina) dan implantasi (subkutan).
Pemilihan rute penggunaan obat tergantung pada tujuan terapi, sifat obat yang digunakan, dan kondisi penderita. Maka dari itu, perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini :
  1. Tujuan terapi, lokal atau sistemik
  2. Kerja obat, cepat atau lambat
  3. Stabilitas obat, dalam lambung atau usus
  4. Keamanan relatif
  5. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi penderita dan dokter
  6. Kemampuan penderita untuk menelan obat melalui mulut.
Jika tujuan terapi obat adalah untuk memperoleh efek sistemik, efek tersebut dapat diperoleh secara oral melalui saluran gastrointestinal, atau rektal, parenteral secara intravena, intramuskular dan subkutan atau inhalasi dan dihantarkan melalui aerosol langsung ke dalam paru-paru.
Sementara itu, efek lokal dapat diperoleh dengan tiga rute. Pertama, intraokular melalui mata, intranasal melalui hidung, dan intraaural melalui telinga, misalnya tetes mata, tetes hidung, dan tetes telinga. Kedua, intrarespiratoral berupa gas yang masuk ke dalam paru-paru, misalnya inhalasi dan aerosol. Ketiga, rektal atau anus, uretral melalui saluran kemih, dan vaginal melalui vagina.

Fase Farmakokinetik
Fase farmakokinetik meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan, yaitu setelah obat dilepaskan dari bentuk sediaan, kemudian diabsorpsi ke dalam darah, dan segera didistribusikan ke dalam masing-masing jaringan tubuh. Di dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma darah dan reaksi ini bersifat reversible. Hanya molekul obat bebas (yang tidak terikat protein plasma darah) yang dapat menembus membran sel untuk masuk ke dalam sel-sel tempat terjadinya biotransformasi atau metabolisme. Sedangkan, molekul bebas lainnya memasuki jaringan berbagai organ dan mempengaruhi fungsi faal atau fungsi biokimia, sehingga terjadi efek obat.
Sebagian lagi memasuki ginjal dan kadang langsung diekskresi. Namun obat pada umumnya baru diekskresi setelah mengalami biotransformasi.

Fase Farmakodinamik
Adapun fase farmakodinamika adalah suatu proses terjadinya interaksi antara obat dengan tempat aksinya dalam sistem biologis. Potensi aksi struktur khusus obat berhubungan dengan interaksi yang terjadi terhadap struktur khusus tempat aksi obat tersebut. Apabila struktur tempat aksinya telah diketahui, interaksi obat dengan tempat aksinya dapat terjadi. Oleh karena itu, struktur tempat aksi obat dan kekuatan yang mengontrol interaksinya dengan obat perlu ditentukan untuk disesuaikan dengan desain obat yang rasional.
Demikianlah tiga fase yang harus dilalui obat sebelum sampai di tempat aksinya. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa sebelum sampai ke tempat aksinya, obat terlebih dahulu melalui serangkaian proses yang rumit dan panjang.

Bagikan

Jangan lewatkan

Tiga Proses Yang Dialami Obat Sebelum Tiba di Tempat Aksi
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.