Friday, 18 March 2016

Analgesik Narkotika

Analgesik merupakan obat yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Nyeri yang bersifat akut biasa disebut juga dengan nosisepsi. Nyeri sendiri merupakan perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan. Nyeri merupakan gejala suatu penyakit atau adanya kerusakan jaringan dalam tubuh. Nyeri disebabkan karena stimulasi mekanik, kimia, panas atu listrik yang menyebabkan kerusakan sel yang kemudian melepaskan mediator nyeri. Bila rangsangan tersebut melampaui ambang batas untuk rasa nyeri maka penderita akan merasakan nyeri. Nyeri bersifat subjektif, artinya kualitas dan tingkatan nyeri pada tiap individu berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan nilai ambang nyeri pada tiap individu. 
Analgesik merupakan obat yang berfungsi meningkatkan ambang nyeri penderita sehingga memungkinkan penderita untuk tidak merasakan nyeri. Namun, sebenarnya nyeri merupakan sinyal bagi tubuh atau otak bahwa telah terjadi kerusakan pada jaringan tubuh.
Patofisiologi nyeri dibedakan menjadi empat tahap :
  1. Stimulasi. Rangsangan nyeri (kimiawi, mekanik, panas) akan merangsang mediator nyeri, yaitu: Bradikinin, ion kalium, histamin, serotonin, substansi P (terlibat dalam nyeri awal), dan prostaglandin dan leukotrien (terlibat dalam nyeri lama). Mediator tersebut mengaktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) pada ujung saraf, menyebabkan timbulnya potensial aksi yang kemudian diteruskan melalui serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang.
  2. Transmisi. Penghantaran nosiseptif melibatkan serabut saraf aferen C dan Aδ bermyelin sehingga menghantarkan respons dengan cepat, dan menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Sedangkan serabut C tidak bermyelin sehingga penghantarannya lambat, menghasilkan sensasi nyeri tumpul, dan nyeri panas. Setelah menghantarkan impuls, ujung serabut saraf aferen yang membentuk sinaps dengan bagian dorsal horn sumsum tulang belakang, melepaskan mediator glutamat, substansi P dan calcitonin gene-related peptide (GGRP). Penghantaran impuls nyeri dilakukan menuju ke talamus di otak.
  3. Persepsi. Tubuh memodulasi sensasi nyeri melalui beberapa proses. Satu sistem yang dominan terlibat dalam proses nyeri adalah sistem opioid endogen, yang terdiri dari a) neurotransmiter (enkefalin, dan beta endorfin); dan b) reseptor opioid (mu, delta, kappa) yang terdapat secara menyeluruh di sistem saraf pusat. Opioid endogen tersebut berinteraksi dengan reseptor opioid dan menghambat transmisi nyeri. Reseptor NMDA yang terdapat dalam dorsal horn sumsum tulang belakang dapat menurunkan sensitivitas reseptor opioid mu terhadap opioid. Disamping itu, SSP juga mempunyai sistem pengatur transmisi nyeri yang dinamakan descending control system, yang dapat menghambat transmisi nyeri pada sinaptik pada dorsal horn sumsum tulang belakang, yang berasal dari otak. Neurotransmiter yang terlibat dalam sistem ini adalah opioid endogen, serotonin, norefinefrin, GABA dan neurotensin.
Ringkasnya, jika ada rangsangan nyeri yang akan memacu pelepasan mediator nyeri, yang kemudian merangsang reseptor nyeri sel saraf aferen untuk kemudian diubah menjadi impuls untuk ditransmisikan ke SSP melalui sumsum tulang belakang menuju ke otak sehingga menghasilkan sensasi nyeri. Sistem descending control system berperan dalam mengkontrol transmisi nyeri tersebut.

Klasifikasi Obat
Obat golongan analgesik narkotika ini merupakan golongan narkotika atau opioid, bereaksi seperti opioid endogen mengaktivasi reseptor opioid dalam SSP untuk menurunkan sensasi nyeri. Sebenarnya obat ini tidak menghilangkan penyebab nyeri, namun membuat penderita merasa tenang/tidak terganggu akibat nyeri tersebut dengan jalan meningkatkan nilai ambang nyeri. Aktivitas obat opioid diperantarai oleh reseptor opioid mu, meskipun beberapa aksinya diperantarai oleh reseptor delta, dan kappa. Aktivasi pada reseptor mu, menghasilkan efek analgesik pada SSP (supraspinal dan spinal) dan perifer, depresi pernapasan, konstriksi pupil, penurunan motilitas saluran pencernaan, euforia, sedasi dan ketergantungan. Reseptor delta juga berperan dalam analgesik, menyebabkan depresi pernapasan dan penurunan motilitas saluran cerna. Reseptor kappa juga berperan dalam analgesik, menghasilkan disforia dan sedasi, tidak menyebabkan ketergantungan.
Obat golongan narkotika atau opioid dibagi menjadi 3, yaitu : 1) agonis reseptor opioid atau biasa disebut juga dn, 2) campuran agonis-antagonis dan 3) antagonis reseptor opioid.

Agonis reseptor opioid
Obat ini mengaktivasi reseptor mu dengan afinitas tinggi dan reseptor delta dan kappa dengan aktivitas rendah. Contoh obat dalam golongan ini adalah Morfin, Kodein, Fentanil, Heroin, Meperidin, Metadon, Tramadol, Sufentanil, Bremazosin, Oksimorfin, Dekstropropoksifen. Obat ini mempunyai efek di beberapa organ yang ada kaitannya dengan aktivasi pada reseptor opioid. Penggunaan morfin menyebabkan mual muntah karena mengaktivasi chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada medula oblongata sehingga memacu pusat mual muntah di otak. Morfin juga menekan refleks batuk karena menghambat pusat batuk di medula otak dan/atau reseptor sensorik (reseptor batuk) dalam saluran bronkus. Dalam klinik, Kodein dan Dekstrometorfan digunakan sebagai obat penekan batuk (antitusif). Obat golongan ini juga dapat menurunkan pergerakan usus sehingga menghasilkan konstipasi. Efek ini malah dimanfaatkan untuk pengobatan diare. Loperamid dan Difenoksilat merupakan turunan opiat yang tidak dapat menembus otak sehingga dimanfaatkan dalam pengobatan diare. Heroin, suatu obat yang sering disalahgunakan, bersifat sangat larut dalan lipid daripada morfin sehingga cepat menembus otak. Dalam otak, mengalami hidrolisis menjadi morfin sehingga obat tersebut (Heroin) merupakan prodrug. Fentanil adalah sangat poten dengan potensi lebih dari 80 kali dibandingkan Morfin namun mempunyai durasi yang pendek. Secara klinik, obat tersebut digunakan dalam anestesi. Metadon merupakan analgesik oral dengan durasi lebih lama dibandingkan morfin. Obat tersebut juga digunakan pada terapi penderita ketergantungan narkotika. Gejala penarikan kembali dari penggunaan narkotika adalah hiperaktivitas syaraf otonom, misalnya diare, mual muntah, kedinginan, demam, tremor, kram perut dan nyeri.

Antagonis reseptor opioid
Obat ini berinteraksi dengan reseptor opioid namun tidak memberikan efek. Contoh obat ini adalah Nalokson, Naltrekson, Nalorfin. Nalokson merupakan obat lini pertama pada penanganan overdosis narkotika terutama gejala depresi pernapasan. Naltrekson sebagai alternatif selain nalokson,  memiliki durasi aksi yang lebih lama dibandingkan dengan Nalokson. 

Campuran agonis dan antagonis reseptor opioid
Contoh obat ini adalah Pentazosin dan Siklazosin. Kedua obat ini adalah antagonis pada reseptor mu, namun merupakan agonis parsial pada reseptor kappa dan delta. Oleh karena penggunaan obat ini menyebabkan disforia, tidak euforia. Sedangkan contoh obat agonis parsial adalah Buprenorfin, yang mempunyai afinitas sama dengan obat opioid lainnya pada reseptor mu namun efek yang dihasilkan lebih rendah atau efikasinya rendah.
Sumber : Dr. Agung Endro Nugroho. 2011. Farmakologi Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Bagikan

Jangan lewatkan

Analgesik Narkotika
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.