Friday 18 March 2016

Obat Antipsikotik

Obat ini dinamakan juga obat neuroleptika, anti-skizofrenia, atau transquilizer. Pemberian obat jenis ini tidak bersifat kuratif karena sebenarnya tidak menyembuhkan penyakit namun mengupayakan penderita untuk bisa menjalankan aktivitas normal. Obat ini paling sering digunakan pada pasien skizofrenia, yang merupakan penyakit mental yang ditandai dengan adanya kekacauan (disintegrasi) proses berpikir, emosi dan kontak realitas. Penyakit ini dipengaruhi oleh lingkungan dan 75% penderitanya adalah usia remaja atau dewasa muda. Gambaran klinik penyakit ini ditandai oleh dua macam gejala, yaitu : 1) gejala positif dan 2) gejala negatif.
Gejala positif cenderung memberikan dampak kepada orang lain. Gejala positif adalah khas pada penderita skizofrenia yang tidak dijumpai pada orang normal, misalnya delusi, halusinasi, gangguan kemampuan berpikir, perilaku yang aneh dan agresif. Sedangkan gejala negatif cenderung tidak berdampak pada orang lain, dan kadang bisa dijumpai pada non-penderita. Penderita mengalami kehilangan ciri khasnya, misalnya kehilangan ekspresi emosi, menarik diri dari lingkungan sosial.

Teori Dopamin 
Teori dopamin menyatakan bahwa pada kondisi skizofrenia terjadi hiperaktivitas dopamin di otak (jalur mesolimbik). Teori ini didukung fakta bahwa penggunaan Amfetamin yang dapat merangsang pelepasan dopamin menghasilkan gejala-gejala mirip dengan kondisi skizofrenia akut. Penggunaan agonis reseptor dopamin-D2, misalnya Apomorfin, dan Bromokroptin memperparah gejala-gejala skizofrenia. Selain itu, neurotransmitter lainnya, yaitu glutamat, serotonin (5-HT) dan norepinefrin terlibat dalam patofisiologi penyakit skizofrenia. Serotonin sendiri mempunyai efek modulasi pada jalur dopamin. Reseptor 5-HT2A merupakan target aksi obat antipsikotik tipikal, yang relatif lebih selektif terhadap reseptor dopamin.

Klasifikasi Obat 
Semua obat antipsikotik bekerja dengan cara mengeblok aktivitas dopamin, dan kebanyakan juga mengeblok reseptor serotonin (5-HT2A). Obat antipsikotik dibagi menjadi 2, yaitu : 1) tipikal atau klasik dan 2) atipikal. Perbedaan dari keduanya lebiih kepada generasi penemuannya. Antipsikotik atipikal adalah yang relatif baru dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Disamping itu, obat antipsikotik atipikal mempunyai efek ekstrapiramidal yang relatif lebih ringan. Kedua jenis obat juga menghambat beberapa reseptor lainnya, seperti reseptor α adrenergik, asetilkolin muskarinik dan histamin. Hal ini terkait dengan efek samping dari obat tersebut, misalnya penghambatan reseptor muskarinik menyebabkan mulut kering, konstipasi, retensi urine, dan pandangan menjadi kabur. Penghambatan pada reseptor histamin mengyebabkan efek sedasi, sedangkan penghambatan pada reseptor α1 adrenergik menyebabkan hipotensi ortostatika.

Antipsikotik tipikal 
Obat ini beraksi terutama dalam menghambat reseptor dopamin terutama reseptor dopamin D-2, dan juga menghambat reseptor asetilkolin muskarinik, alfa adrenergik, histamin (H-1) dan serotonin (5-HT2A). Aktivitas antipsikotik obat ini berkaitan dengan aktivitasnya pada reseptor dopamin D-2. Contoh obat dalam golongan ini adalah Klorpromazin, Haloperidol, Asetofenazin, Klorprotiksen, Mesoridazen, Perfenazin, Thioridazin dan Proklorferazin. Obat ini dapat menghasilkan efek samping ekstrapiramidal yang meliputi distonia akut, akatisia, gejala parkinson dan tardive dyskinesia. Efek tersebut muncul sebagai hasil dari pengeblokan reseptor  dopamin D-2  di bagian striatum pada basal ganglia.
Distonia akut meliputi spasme pada otot muka, lidah, leher maupun punggung. Sedangkan akatisia merupakan keadaan kegelisahan motorik, misalnya perasaan gelisah, ketidakmampuan dalam beristirahat dengan baik. Gejala Parkinsonisme meliputi meliputi rigiditas (kekakuan), tremor,  dan berjalan dengan menyeret kaki. Sedangkan tardive dyskinesia adalah kondisi dimana terjadi gerakan sendiri yang berulang-ulang pada bagian wajah dan sekitarnya. Gejala ini merupakan masalah serius yang biasa ditemui pada pengobatan dengan menggunakan obat ini, dan insidensinya mencapai 20-40%. Dalam kaitan dengan efek samping ekstrapiramidal, semakin poten suatu obat antipsikotik maka efek samping ekstrapiramidalnya juga semakin meningkat. Sedangkan apabila efek antikolinergiknya semakin poten maka efek samping tersebut semakin rendah. Dari fakta farmakologis, gangguan pergerakan  pada efek samping ekstrapiramidal dapat dikurangi dengan adanya aktivitas antikolonergik tersebut. Asetilkolin mempunyai aksi yang berlawanan dengan dopamin di basal ganglia. Berikut ini adalah urutan potensi antipsikotik obat tipikal dan urutan potensi efek samping ekstrapiramidal dari tinggi ke rendah :
Haloperidol – Flufenazin – Klorpromazin – Thiohidrazin. 

Antipsikotik atipikal 
Obat ini beraksi terutama pada dua reseptor yaitu reseptor serotonin (5-HT2A) dan dopamin, meskipun penghambatan pada reseptor serotonin lebih poten dibandingkan dengan penghambatan pada reseptor dopamin. Seperti halnya obat tipikal, obat golongan atipikal juga menghambat reseptor asetilkolin muskarinik, alfa adrenergik, dan histamin (H-1). Obat golongan ini memiliki efek samping ekstrapiramidal yang rendah, bahkan Klozapin tidak menunjukkan efek samping pada ekstrapiramidal. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan antipsikotik atipikal selain Klozapin adalah Sulpirid, Risperidon, Sertindol, Quetiapin dan Olanzapin. Meskipun Klozapin tidak menyebabkan efek samping pada ekstrapiramidal, namun dapat menyebabkan agranulositosis meskipun insidensinya rendah (1-2%). Pada pasien yang mendapat terapi dengan obat tersebut, kandungan sel darah putih perlu dimonitor. 

Sumber : Dr. Agung Endro Nugroho. 2011. Farmakologi Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Bagikan

Jangan lewatkan

Obat Antipsikotik
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.