Obat ini dinamakan juga obat neuroleptika,
anti-skizofrenia, atau transquilizer. Pemberian obat jenis ini tidak bersifat
kuratif karena sebenarnya tidak menyembuhkan penyakit namun mengupayakan
penderita untuk bisa menjalankan aktivitas normal. Obat ini paling sering
digunakan pada pasien skizofrenia, yang merupakan penyakit mental yang ditandai
dengan adanya kekacauan (disintegrasi) proses berpikir, emosi dan kontak
realitas. Penyakit ini dipengaruhi oleh lingkungan dan 75% penderitanya adalah
usia remaja atau dewasa muda. Gambaran klinik penyakit ini ditandai oleh dua
macam gejala, yaitu : 1) gejala positif dan 2) gejala negatif.
Gejala positif cenderung memberikan dampak kepada
orang lain. Gejala positif adalah khas pada penderita skizofrenia yang tidak
dijumpai pada orang normal, misalnya delusi, halusinasi, gangguan kemampuan
berpikir, perilaku yang aneh dan agresif. Sedangkan gejala negatif cenderung
tidak berdampak pada orang lain, dan kadang bisa dijumpai pada non-penderita.
Penderita mengalami kehilangan ciri khasnya, misalnya kehilangan ekspresi
emosi, menarik diri dari lingkungan sosial.
Teori Dopamin
Teori dopamin menyatakan bahwa pada kondisi
skizofrenia terjadi hiperaktivitas dopamin di otak (jalur mesolimbik). Teori
ini didukung fakta bahwa penggunaan Amfetamin yang dapat merangsang pelepasan
dopamin menghasilkan gejala-gejala mirip dengan kondisi skizofrenia akut.
Penggunaan agonis reseptor dopamin-D2, misalnya Apomorfin, dan Bromokroptin
memperparah gejala-gejala skizofrenia. Selain itu, neurotransmitter lainnya,
yaitu glutamat, serotonin (5-HT) dan norepinefrin terlibat dalam patofisiologi
penyakit skizofrenia. Serotonin sendiri mempunyai efek modulasi pada jalur
dopamin. Reseptor 5-HT2A merupakan target aksi obat antipsikotik
tipikal, yang relatif lebih selektif terhadap reseptor dopamin.
Klasifikasi
Obat
Semua obat antipsikotik bekerja dengan cara mengeblok
aktivitas dopamin, dan kebanyakan juga mengeblok reseptor serotonin (5-HT2A).
Obat antipsikotik dibagi menjadi 2, yaitu : 1) tipikal atau klasik dan 2)
atipikal. Perbedaan dari keduanya lebiih kepada generasi penemuannya.
Antipsikotik atipikal adalah yang relatif baru dibandingkan dengan antipsikotik
tipikal. Disamping itu, obat antipsikotik atipikal mempunyai efek ekstrapiramidal
yang relatif lebih ringan. Kedua jenis obat juga menghambat beberapa reseptor
lainnya, seperti reseptor α
adrenergik, asetilkolin muskarinik dan histamin. Hal ini terkait dengan efek
samping dari obat tersebut, misalnya penghambatan reseptor muskarinik
menyebabkan mulut kering, konstipasi, retensi urine, dan pandangan menjadi
kabur. Penghambatan pada reseptor histamin mengyebabkan efek sedasi, sedangkan
penghambatan pada reseptor α1
adrenergik menyebabkan hipotensi ortostatika.
Antipsikotik
tipikal
Obat ini beraksi terutama dalam menghambat reseptor
dopamin terutama reseptor dopamin D-2, dan juga menghambat reseptor asetilkolin
muskarinik, alfa adrenergik, histamin (H-1) dan serotonin (5-HT2A).
Aktivitas antipsikotik obat ini berkaitan dengan aktivitasnya pada reseptor
dopamin D-2. Contoh obat dalam golongan ini adalah Klorpromazin, Haloperidol,
Asetofenazin, Klorprotiksen, Mesoridazen, Perfenazin, Thioridazin dan
Proklorferazin. Obat ini dapat menghasilkan efek samping ekstrapiramidal yang
meliputi distonia akut, akatisia, gejala parkinson dan tardive dyskinesia. Efek tersebut muncul sebagai hasil dari
pengeblokan reseptor dopamin D-2 di bagian striatum pada basal ganglia.
Distonia akut meliputi spasme pada otot muka, lidah,
leher maupun punggung. Sedangkan akatisia merupakan keadaan kegelisahan
motorik, misalnya perasaan gelisah, ketidakmampuan dalam beristirahat dengan
baik. Gejala Parkinsonisme meliputi meliputi rigiditas (kekakuan), tremor, dan berjalan dengan menyeret kaki. Sedangkan tardive dyskinesia adalah kondisi dimana
terjadi gerakan sendiri yang berulang-ulang pada bagian wajah dan sekitarnya.
Gejala ini merupakan masalah serius yang biasa ditemui pada pengobatan dengan
menggunakan obat ini, dan insidensinya mencapai 20-40%. Dalam kaitan dengan
efek samping ekstrapiramidal, semakin poten suatu obat antipsikotik maka efek
samping ekstrapiramidalnya juga semakin meningkat. Sedangkan apabila efek
antikolinergiknya semakin poten maka efek samping tersebut semakin rendah. Dari
fakta farmakologis, gangguan pergerakan
pada efek samping ekstrapiramidal dapat dikurangi dengan adanya
aktivitas antikolonergik tersebut. Asetilkolin mempunyai aksi yang berlawanan
dengan dopamin di basal ganglia. Berikut ini adalah urutan potensi antipsikotik
obat tipikal dan urutan potensi efek samping ekstrapiramidal dari tinggi ke
rendah :
Haloperidol – Flufenazin – Klorpromazin –
Thiohidrazin.
Antipsikotik
atipikal
Obat ini beraksi terutama pada dua reseptor yaitu
reseptor serotonin (5-HT2A) dan dopamin, meskipun penghambatan pada
reseptor serotonin lebih poten dibandingkan dengan penghambatan pada reseptor
dopamin. Seperti halnya obat tipikal, obat golongan atipikal juga menghambat
reseptor asetilkolin muskarinik, alfa adrenergik, dan histamin (H-1). Obat
golongan ini memiliki efek samping ekstrapiramidal yang rendah, bahkan Klozapin
tidak menunjukkan efek samping pada ekstrapiramidal. Contoh obat-obatan yang
termasuk dalam golongan antipsikotik atipikal selain Klozapin adalah Sulpirid,
Risperidon, Sertindol, Quetiapin dan Olanzapin. Meskipun Klozapin tidak
menyebabkan efek samping pada ekstrapiramidal, namun dapat menyebabkan
agranulositosis meskipun insidensinya rendah (1-2%). Pada pasien yang mendapat
terapi dengan obat tersebut, kandungan sel darah putih perlu dimonitor.
Sumber : Dr. Agung Endro Nugroho. 2011. Farmakologi Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Sumber : Dr. Agung Endro Nugroho. 2011. Farmakologi Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Bagikan
Obat Antipsikotik
4/
5
Oleh
Unknown